RSS

Analisis Efektifitas Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Pada Departemen Pendidikan Nasional

27 Jun

Analisis Efektifitas Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

Pada Departemen Pendidikan Nasional

Oleh: Abdul Aziz[1]

(Telah diterbitkan di Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan (KEK), Penerbit: Kementerian Keuangan, Vol. 13 No.2 Tahun 2009, hal.85 -109)

Abstraksi

Salah satu amanah dari Undang-Undang Keuangan Negara adalah penerapan Sistem penganggaran berbasis yang kinerja berorientasi pada hasil (output based) dari program pemerintah  dengan cara meningkatkan efsiensi sumber daya yang terbatas dan efektif dalam pencapaian output dan outcomenya.

Pemerintah perlu melakukan kegiatn monitoring dan evaluasi dalam mencapai target tersebut (efisien dan efektif) agar terjadi perbaikan kwalitas pelaksanaan program dan kegaitan di masa yang akan datang.

Salah satu metodologi penelitian untuk mengetahui tingkat efektifitas suatu program/kegiatan dengan cara melakukan uji sampel t berpasangan (paired sample t test) terhadap setiap outcome yang diharapkan dari program BOS ini.

Dari uji statistik dengan tools SPPS ini akan dihasilkan kesimpulan ilmiah setiap variabel outcomenya yaitu apakah dengan adanya program BOS variabel outcome yang diuji (yang terdiri dari varibel APK, APM, Siswa Mendaftar, Putus Sekolah, Lulus Sekolah dan Lanjut Sekolah di tingkat SD dan SMP) mengalami perbedaaan yang signifikan (terjadi perbaikan) dengan sebalum pelaksanaan BOS? Atau dengankata lain, apakah BOS efektif memperbaiki variabel-variabel outcome tersebut.

Pada akhirnya, uji statistic ini bisa menjadi model / bahan masukan /pedoman bagi kementerian Negara / lembaga dan kementerian Departemen Keuangan dalam melakukan uji efektifitas program/kegiatan di lingkungannnya masing-masing.

 

Kata Kunci:     Penganggaaran berbasisi kinerja, Uji efektifits outcome program BOS, Paired sample T Test, Bahan Masukan/Pedoman dalam Uji efektifitas outcome.

  1. PENDAHULUAN

1.1 Latar  Belakang

Lahirnya Undang-Undang  Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memuat berbagai perubahan mendasar. Di antara perubahan mendasar itu adalah diberlakukannya sistem penganggaran berbasis kinerja. Sistem ini menekankan pada pencapaian hasil dan keluaran (output based) dari program dan kegiatan dengan menekankan efisiensi penggunaan sumber daya (input) yang terbatas dan efektif dalam pencapaian output dengan outcomenya.

Alokasi belanja pemerintah (dalam hal ini Kementerian/Lembaga)  diharapkan dapat menjadi motor pendorong bagi peningkatan kesejahterahan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan melalui program dan kegiatan yang dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas.

Salah satu program/kegiatan yang dilaksanakan oleh K/L yang dianggap mempunyai dampak positif dalam meningkatkan kesejahterahan masyarakat adalah program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). BOS adalah merupakan bantuan yang ditujukan kepada seluruh sekolah  SD/MI/sederajat dan  SMP/MTs/sederajat agar para siswa  bisa mendapatkan pelayanan dalam bidang pendidikan sampai dengan masa wajib belajar (SD-SMP) terlaksana.

BOS merupakan bagian dari anggaran dana pendidikan yang merupakan bantuan sosial dan disalurkan dalam bentuk bantuan biaya belajar mengajar, buku dan lainnya.

Tahun 2005 target siswa yang mendapatkan dana BOS adalah 34,5 juta siswa, dalam Tahun 2006 adalah 33,7 juta siswa, dalam Tahun 2007 adalah 35,2 juta siswa dan  pada Tahun 2008 adalah sebesar  41,9 juta siswa.

Rincian alokasi/pagu anggaran dan unit cost BOS adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Alokasi Pagu Anggaran BOS

Tahun Anggaran 2005-2008[2]

 

Tahun

Anggaran

 

Bulan

 

Tahun Ajaran (Bulan)

 

Pagu Dana

 

Peruntukan

2005 Juli 2005 s.d. Desember 2005 2005/2006 (Juli s.d Desember 2005/ semester 1) Rp5,136  trilliun Depdiknas dan Depag
2006 Januari 2006 s.d Desember 2006 2005/2006 (Jan s.d Juni / semester 2) dan 2006/2007 (Juli sd Desember/ semester 1) Rp10,239 triliun Depdiknas dan Depag
2007 Januari 2007 s.d Des 2007 2006/2007 (Januari sd Juni 2007 / semester 2), dan 2007/2008 (Juli sd Desember/ semester 1) 9,746 Depdiknas
2008 Januari 2008 s.d Des 2008 2007/2008(Januari sd Juni semester 2) dan 2008/2009 (Juli sd Desember semester 1) 9,379 Depdiknas
2007 Januari 2007 s.d Des 2007 2006/2007 (Januari sd Juni 2007 / semester 2) dan 2007/2008 (Juli sd Desember/ semester 1) 1,731 Depag
2008 Januari 2008 s.d Des 2008 2007/2008(Januari sd Juni semester 2) dan 2008/2009 (Juli sd Desember semester 1) 1,788 Depag

Sumber: Depdiknas dan Depag (data diproses)

 

Biaya satuan (Unit Cost) BOS tahun anggaran 2005 dan 2006: untuk SD    dan yang sederajat: Rp 235.000,-/siswa/tahun dan untuk SMP dan yang sederajat:                                   Rp 325.500/siswa/tahun sedangkan tahun anggatan  2007 dan 2008 biaya satuannya mengalami kenaiakan yaitu untuk SD   dan yang sederajat:      Rp 254.000,-/siswa/tahun dan untuk SMP dan yang sederajat:   Rp 354.500/siswa/tahun

Sesuai dengan amanah dari sistem penganggaran berbasis kinerja maka setiap program K/L harus memperhatikan tingkat efektifitas dari masing-masing program yang digulirkannya yang nantinya diharapkan menjadi bahan evaluasi dan perbaikan program tersebut di masa yang akan datang.

1.2  Perumusan Masalah

Inti dari pembahasan di atas adalah bagaimana K/L dapat melaksanakan kegiatan dan penganggaran sesuai dengan sistem penganggaran berbasis kinerja yang mengutamakan keterkaitan antara input – output dan outcome secara tepat sasaran, tepat waktu dan efisien dan bagaimana agar pelaksanaan program K/L bisa berjalan secara  optimal. Pengukuran efektifitas adalah dilihat dari dampak/outcome yang dirasakan oleh masyarakat atau mengukur dampak program tersebut, apakah ada perbaikan kondisi setelah program tersebut terlaksana jika dibanding dengan sebelumnya atau tidak ada perbaikan sama sekali atau justru menurun.

Sebagai sampel dari pengukuran efektifitas program-program K/L tersebut adalah program BOS karena program ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahterahan masyarakat secara lebih luas melalui sektor pendidikan.

Agar lebih fokus dalam penelitian ini, maka penulis membatasi diri dengan hanya menganalisis tingkat efektifitas program tersebut di Depdiknas (untuk SD dan SMP).

1.3 Tujuan Penelitian  

Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Membuat pengujian tingkat efektifitas program BOS di Departemen Pendidikan Nasional khususnya untuk indikator outcome: APK, APM, jumlah sisiwa mendaftar, tingkat kelulusan, jumlah anak putus sekolah dan  jumlah anak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya (untuk SD dan SMP);
  2. Melakukan evaluasi dan membuat rekomendasi yang diperlukan guna perbaikan program ini di masa-masa yang akan datang.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilaukan dengan harapan bisa memberikan manfaat diantaranya adalah:

Menjadi salah satu rujukan  Departemen/Lembaga Negara dan Departemen Keuangan dalam memeberikan penilain tentang tingkat efektifitas suatu program yang telah dilaksanakan.

1.5       Metodologi Penelitian

1.5.1    Metodologi Penelitian Evaluasi dan Komparatif

Penulis   memilih metodologi evaluasi sebagai cara dalam rangka mengungkap efektifitas program BOS yang dijalankan oleh pemerintah.Metodologi penelitian evaluasi adalah metode yang digunakan peneliti dalam rangka melakukan evaluasi terhadap suatu program atau kegiatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu  dengan tujuan untuk mengetahui apakah proses atau hasil dari program atau kegiatan tersebut,  telah sesuai dengan rencana awal atau tidak?[3]

Melalui metodologi ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi program dan kegiatan serupa agar lebih baik di masa-masa yang akan datang.

Sedangkan Penelitian komparatif dimaksudkan untuk membandingkan dua kelompok data atau lebih (baik sampel maupun populasi) dengan mencari kesimpulan apakan data yang dibandingkan tersebut mempunyai kesamaan atau berbeda secara signifikan (ada perubahan antara sebelum dan sesudah dilakukan treatment [4]

1.5.2    Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel

Data tersebut dikumpulkan dari laporan elektronik Pusat Statistik Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dengan memilih beberapa indikator/variabel outcome (seperti: APK, APM, jumlah siswa mendaftar, jumlah putus sekolah, jumlah siswa lulus dan jumlah siswa yang melanjutkan ke jenjang yang pendidikan yang lebih tinggi) sebagaimana yang terdapat dalam buku Panduan Monev Depdiknas dan Depag. Data tersebut diambil dari 30 provinsi yang ada di Indonesia untuk 6 tahun pengamatan yaitu 3 tahun ajaran sebelum program BOS dilakasanakan dan 3 tahun sesudahnya. (yang tidak dimasukkan adalah Propinsi Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Papua Barat karena tidak ditemukan data yang valid pada 6 variabel/indicator outcome sebelum pelaksanaan BOS).

1.5.5   Hipotesa Statistik

  1. H0 = Kedua rata-rata sampel/populasi adalah identik (rata-rata populasi variable outcome sebelum dan pelaksanaan Program BOS) adalah sama/ tidak berbeda,   hal ini memberi kesimpulan bahwa program BOS tidak/belum efektif mengubah varibel outcome tersebut ke level yang lebih baik.
  2. H1= Kedua rata-rata sampel/populasi adalah tidak identik (rata-rata populasi variable outcome sebelum dan pelaksanaan Program BOS) adalah tidak sama / berbeda,   hal ini memberi kesimpulan bahwa program BOS telah efektif mengubah varibel outcome tersebut ke level yang lebih baik.

1.5.6    Tehnik Analisis Data: Paired Sample T Test

Paired Sample T Test adalah analisis statistik komparatif untuk dua sample bebas (independen)yang berpasangan. Data pada 6 indikator/variable yang diamati dan telah dikumpulkan seperti tersebut di atas  kemudian dicari rata-ratanya (mean) pada tiap propinsi sampel  untuk 3 tahun sebelum pelaksanaan BOS dan  3 tahun setelahnya. Sehingga didapatkan 6 pasang data indicator/variabel yang akan diuji satu demi satu dengan menggunakan analisis statistik komparatif kuantitatif yaitu dengan memakai tool: Paired Sample T Test ( Uji T untuk 2 sampel yang berpasangan) melalui aplikasi SPSS.

Dengan menggunakan 30 sampel/propinsi (degree of freedom/derajat kebebasan adalah jumlah sampel – 1= 29) pada masing-masing variabel/indikator di tingkat SD dan SMP serta  pada tingkat kepercayaan (confidence internal) yangbaku (default) yang disediakan oleh diaplikasi SPSS pada tingkat 95%  (tingkat signifikansi = 100% – 95% =  5%)  maka Uji T berpasangan (Paired Sample T Test) ini diharapkan akan  menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

A. Berdasarkan perhitungan t hitung (angka t output) dengan t tabel:

(1) Jika  statistik t hitung (angka t output) < statistik  tabel (tabel t) atau jika t hitung (output) terletak pada daerah H0 diterima (jika terletak diantara 2 angka t table) maka Kedua rata-rata sampel/populasi adalah identik (rata-rata sampel/populasi variable outcome sebelum dan pelaksanaan Program BOS) adalah sama / tidak berbeda,   hal ini memberi kesimpulan bahwa program BOS tidak/belum efektif mengubah varibel outcome tersebut ke level yang lebih baik, ini artinya program BOS belum/tidak efektif pada variabel/indikator tersebut.

 

(2) Tetapi jika  statistik t hitung (angka t output) > statistik  tabel (tabel t) atau jika t hitung (output) terletak di luar daerah H0 (jika terletak di luar dua 2 angka t table) maka tolak H0 dan terima H1,  artinya kedua rata-rata sampel/populasi adalah tidak identik (rata-rata populasi variable outcome sebelum dan pelaksanaan Program BOS) adalah tidak sama / berbeda,   hal ini memberi kesimpulan bahwa program BOS telah efektif mengubah varibel outcome tersebut ke level yang lebih baik, ini artinya program BOS efektif pada variabel/indikator tersebut.

B. Berdasarkan nilai probabilitas:

(1) Jika angka probabilitas yang ada pada tampilan output > 0,05 maka H0 diterima, selanjutnya kesimpulannya sama dengan di atas (pada huruf A angka (1));

(2) Tetapi jika angka probabilitas yang ada pada tampilan output < 0,05 maka H0 ditolak dan terima H1, selanjutnya kesimpulannya sama dengan di atas (pada huruf A angka (2));

1.5  Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian tentang efektifitas program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ini dibatasi oleh ruang lingkup dan fokus penelitian sebagai berikut:

Artikel tentang efektifitas program BOS ini fokus pada pelaksanaan BOS di Departemen Pendidikan Nasional saja. Alasannya adalah:

  1. Dua  tahun awal pelaksanaan BOS koordinasi dananya dipusatkan di Depdiknas, sehingga   cukup fair apabila dalam pengujian indikator outcome difokuskan di Departemen ini;
  2. Setelah pemisahan tanggungjawab dalam pelaksanaan program BOS, Depdiknas tetap mengelola dana  BOS yang cukup besar dengan porsi sekitar ­+ 85%[5]  begitu juga dengan pembagian tanggungjawab dalam penuntasan wajib belajar nasional  untuk SD/sederajat sebesar 89,64% dan untuk SMP/sederajat  sebesar 76,55%.[6]

Jadi cukup proporsional apabila hasil uji efektifitas program BOS ini menggambarkan kondisi pelaksanaan program BOS secara keseluruhan.

 

Pengambilan sampel indikator/variabel yang akan diuji efektifitasnya terdiri dari 30 Propinsi di Indonesia. Ada 3 propinsi yang tidak dimasukkan sampel (yaitu propinsi Kepulauan Riau, Sulawesi Barat dan Papua Barat) karena  data indikator/variabel sebelum  pelaksanaan BOS tidak tersedia sehingga tidak bisa dilakukan uji efektifitas.

 

2.    Landasan Teori

2.1  Barang Publik dan Peran Pemerintah

 

Pemerintah sebenarnya bisa melakukan kebijakan tertentu yang bisa mendatangkan kesejahterahan bagi rakyatnya, misalnya untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dan cara/kemampuan rmasyarakat dalam memperolhnya maka  pemerintah bisa melakukan fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi tergantug pada kondisi dan tujuan apa yang ingin dicapai.

Fungsi alokasi berkaitan dengan peran pemerintah dalam mengalokaiskan sumberdaya yang dimilkinya agar masyarakat dapat memperoleh kebutuhan yang diinginkannya. Banyak barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh swasta di pasar, juga untuk mengantisipasi sebagian masyarakat yang tidak sanggup membeli barang yang telah tersedia di pasar.

Fungsi distribusi   lebih berkait dengan upaya pemerintah untuk mendistri busikan pendapatan dan kekayaannya agar masyarakat sejahtera. Distribusi pendapatan melalui pasar sebenrnya efisien tetapi terkadang tidak adil karena  hukum pasar berjalan, sehingga bisa jadi segolongan kecil rakyat memperoleh porsi pendapatan/kekayaan yang begitu besar sementar golongan mayoritas yang lainnya justru memperoleh porsi pendapatan yang sedikit, inilah fungsi pemerintah agar sistem berjalan adil dan seimbang.

Fungsi stabilisasi pemerintah adalah berkaitan dengan kebijakan untuk menjaga stabilitas ekonomi, fiskal dan moneter contohnya adalah manjaga stabilitas harga, stabilitas dalam kesempatan kerja. Diantara instumrnnya adalah melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif (defisit anggaran) dengan misal memberikan subsidi, bantuan sosial dan lain-lain juga bisa melalui kebijakan fiskal yang kontraktif misal dengan mengurangi tarif pajak agar investor mau masuk ke Indonesia dan membuka lapangan pekerjaan yang baru.[7]

Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang  penyediaan barang yang dilakukan oleh pemerintah, maka dikenal adanya beberapa definisi  barang yaitu barang  publik (public goods), barang swasta (private goods), barang swasta campuran (quasi private goods) dan barang klub (club goods).

Menurut Prof.Sukanto Reksodihardjo (2001) definisi barang-barang tersebut adalah sebagai berikut:

Barang publik mempunyai cirikhas yaitu tersedianya berkat camput tangan pemerintah dalam rangka memnuhi kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa yang relatif murah karena harganya ditentukan rendah (subsidi) oleh pemerintah, tidak dapat dikecualikan (non-excludable), karena dapat dinikmati oleh orang lain dan tidak pula bersaing (non-rival). …Misal pertahanan, keamanan, peradilan yang sebagai barang publik murni (pure public goods)

Barang Swasta adalah barang yang setelah produsen memperoleh  kompenssi bagi biaya produksinya, memberikan manfaat hanya pada mereka yang mendapatkannya dan tidak bagi orang lain. Barang swasta murni dikonsumsi secara bersaing dan menfaatnya dikecualikan dari mereka yang memilih untuk tidak membelinya dengan harga pasar.

Diantara barang swasta dan publik murni ada barang swasta campuran (quasi private), yang manfaatnya dirasakan positif oleh orang lain, dijual dipasar atau langsung oleh pemerintah, seperti rumah sakit, angkutan serta barang publik campuran (quasi public) yang manfaatnya juga dirasakan oleh orang lain dan dikonsumsikan bersama tetapi dapat terjadi kemacetan, kepadatan (eksternalitas negatif), dijual melalui pasar atau langsung oleh pemerintah seperti taman.

Barang klub (club goods) barang da jasa yang diperoleh secara ekslusif.  Individu yang menjadi anggota klub dengan cara mengecualikan diri membayar sejumlah uang, dengan demikian individu lain yang tidak membayar tidak dapat menikmati apa yang ditawarkan klub tersebut.

 

 

Dalam kaitan dengan pembahasan di atas terhadap berbagai kemungkinan masyarakat menyikapi barang/jasa berupa pendidikan formal (baca: wajib belajar 9 tahun yaitu pendidikan formal di SD dan SMP) maka menurut penulis pemerintah bisa mengambil peran yang moderat dalam penyediaan barang-barang yang dibutuhkan rakyatnya. Terlalu menyerahkan urusannya kepada swasta bisa berakibat munculnya persaingan  yang kurang  sehat (liberal) sehinggga hukum pasar berlaku ’yang kuat makan yang lemah’ sehingga bisa menimbulakn efek berikutnya adalah kelangkaan barang/jasa karena dikuasai oleh pihak-pihak tertentudalam rangka memainkan harga.  Namun jika peran pemerintah terlalu besar juga bisa berkaibat pad in-efficient dalam pengalokasian sumber daya (anggaran negara, misalnya).

 

Pendidikan formal sebenarnya adalah kebutuhan primer yang dinikmati oleh setiap warga negara siapapun orangnya. Pendidikan formal juga tidak mempunyai barang/jasa yang bersifat substitusi sempurna, meskipun kepandaian bisa didapatkan di mana saja tetapi mendapatkan pendidikan yang standar, pengakuan status sosial yang wajar, proses sosialisasi dan pembelajaran yang sistemis  dan lain-lain tidak dapat digantikan oleh sistem pendidikan manapun sehingga upaya untuk menyediakan pendidikan formal (dalam hal ini adalah wajib belajar 9 tahun: SD dan SMP) harus terus dijalankan secara seimbang. Seimbang dalam arti tidak terlalu memanjakan mereka -yang berpunya terutama- untuk tidak mengeluarkan biaya sedikitpun sementra dalam waktu yang sama banyak orang miskin yang kelaparan, seimbang dalam arti tetap menjaga standar pendidikan yang baik meskipun biaya sebagain dari pemerintah, seimbang dalam arti alokasi dana yang tepat jumlah dan tepat sasaran dan seimbang dalam arti tetap mengharapkan berbagai pihak untuk membantu dalam penyediaan barang/jasa ini terutama kepada sektor swasta.

2.2 Belanja Kementerian Negara/Lembaga (K/L)[8]

Penyerapan anggaran sebenarnya bukan indikator kinerja (performance indicator) dalam kerangka penganggaran berbasis kinerja (Performance Based Budget). Namun demikian, dengan kondisi perekonomian saat ini faktor  yang dominan yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi adalah faktor konsumsi, yaitu konsumsi masyarakat (C) dan konsumsi/belanja pemerintah (G). Belanja pemerintah yang merupakan konsumsi pemerintah akan menjadi faktor yang dominan dalam memberi stimulus pertumbuhan ekonomi terlebih disaat daya beli masyarakat kurang baik.

Belanja K/L di atas dipengaruhi oleh perkembangan susunan K/L, perkembangan jumlah bagian anggaran (BA), dan penggabungan organisasi atau perubahan nomenklatur atau pemisahan suatu unit organisasi dari organisasi induknya. Di samping itu, alokasi belanja K/L juga tidak terlepas dari kebijakan umum belanja pemerintah pusat. Belanja K/L sendiri terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan bantuan sosial.

Dalam periode Tahun 2005-2008, komponen belanja bantuan sosial pada K/L terdiri dari unsur-unsur yang tercakup dalam bantuan sosial adalah: (i) belanja bantuan kompensasi sosial, (ii) belanja bantuan sosial lembaga pendidikan dan peribadatan, serta (iii) belanja lembaga sosial lainnya. Belanja batuan sosial sebagian besar dialokasikan untuk belanja bantuan sosial lembaga pendidikan dan peribadatan, yaitu mencapai 46,9 persen. Sedangkan sisanya digunakan untuk belanja bantuan kompensasi sosial 12,6 persen dan belanja lembaga sosial lainnya 40,5 persen.

2.3       Definisi Efektif

Efektif  menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) adalah: ‘ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya); 2 manjur atau mujarab (obat); 3 dapat membawa hasil; berhasil guna (usaha, tindakan); mangkus; 4 mulai berlaku (undang-undang,peraturan); meng·e·fek·tif·kan menjadikan efektif; 1 keadaan berpengaruh; hal berkesan; 2 kemanjuran; kemujaraban (obat); 3 keberhasilan (tt usaha, tindakan); kemangkusan; 4 hal mulai berlakunya (undang- undang, peraturan).

Efektif juga bisa berarti: adalah rasio antara output dan outcome (www.dja.go.id,  “Standar Biaya: satu ukuran untuk semua’, Imro&Mujibuddawah, Jakarta 2007) dan Suatu program dikatakan efektif jika program yang diberikan telah memperbaiki kondisi dibanding kondisi sebelumnya; (Aspek Distribusi APBN (Bahan Mata Kuliah Kebijakan Ekonomi Indonesia MPKP UI), Mohamad Ikhsan: 2007).

Adapun batasan efektif yang akan diambil dalam penelitian ini adalah bahwa suatu kegiatan dikatakan Efektif apabila dapat memperbaiki kondisi dibanding sebelum ada kegiatan dan jika mungkin bisa dikuantitatifkan dengan perhitungann indikator oucome.

3. Gambaran Umum:  Kebijakan dan Belanja Pendidikan Nasional[9]

Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Utamanya bagi warga negara yang berusai tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, sedangkan untuk warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Bagi warga negara yang berada di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan dengan layanan khusus. Pemerintah telah menetapkan bidang pendidikan sebagai agenda strategis dalam pembangunan nasional sekaligus menjadi prioritas utama dalam rencana kerja pemerintah.

Anggaran pendidikan adalah fungsi pendididkan dalam belanja pemerintah pusat ditambah anggaran pendidikan yang ditransfer ke daerah (DAU dan DAK pendidikan), tidak termasuk pendidikan kedinasan, termasuk gaji pendidik (Keputusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2007). Untuk Tahun 2009 ditambah dengan DAU dan Dana Otsus untuk pendidikan. Rasio anggaran pendidikan Tahun 2005-2007 dari hasil konversi dengan mengunakan definisi yang sama untuk Tahun 2008-2009[10].

Bahwa dalam rangka mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional telah diatur dengan Undang-Undang[11]. Untuk mewajibkan pemerintah agar memberikan prioritas membenahi sektor pendidikan, diadakan revisi terhadap pasal 31 UUD Tahun 1945, dengan mewajibkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Selanjutnya ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu memberikan kelonggaran kepada pemerintah bahwa“ pemenuhan pendanaan pendidikan (sebesar 20 persen dari APBN serta dari APBD) dimaksud dapat dilakukan secara bertahap dan akan terpenuhi dalam Tahun 2009.

Dalam Undang-Undang tersebut, dana sebesar 20 persen  berasal dari APBN dan APBD tidak termasuk belanja pegawai (tenaga pendidik) dan pendidikan yang dilakukan pemerintah melalui kedinasn (di luar yang dikelola Departemen Pendidikan) yang masih harus dialokasikan dana dari APBN di luar yang 20 persen dimaksud.

Dalam Undang-Undang  Sistem Pendidikan Nasional, alokasi anggaran dalam APBD sejak Tahun Anggaran 2004, sampai dengan 2006 baru terealisasi mencapai rata-rata 8,7 persen dari APBN, yaitu masing-masing pada Tahun Anggaran 2004 mencapai sebesar 6,6 persen, Tahun Anggaran 2005 sebesar 8,2 persen, dan Tahun Anggaran 2006 sebesar 10,3 persen dari anggaran secara keseluruhan[12]. Dengan demikian, pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap.

Sebelum Tahun 2005, alokasi belanja untuk pendidikan diberikan dikaitkan dengan peristiwa tertentu, seperti program jaring pengaman sosial (JPS), program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak (PKPS-BBM). Dalam Tahun 1998 dilakukan program jaring pengaman sosial (JPS) bidang pendidikan untuk mencegah dampak negatif dari krisis ekonomi bagi masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan. JPS pendidikan ini memberikan beasiswa kepada 1,8 juta siswa sekolah dasar/Madrasah Ibtidaiyah, 1,65 juta siswa sekolah menengah pertama/Madrasah Tsanawiyah dan 500 ribu siswa sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah. Dalam Tahun 2001 sampai dengan Tahun 2003, JPS bidang pendidikan diberikan sebagai bagian dari program kompensasi pengurangan subsidi bahan bakar minyak (PKPS-BBM) bidang pendidikan yang berlanjut. Program PKPS-BBM bidang pendidikan tersebut dilanjutkan kembali setelah ditetapkan kebijakan menaikan harga BBM pada tanggal 1 Maret 2005.

Pemerintah memiliki komitmen dan secara konsisten mengalokasi belanjanya di bidang pendidikan melalui BOS sejak tahun 2005. BOS merupakan program pemerintah di bidang pendidikan yang pembiayaannya dialokasikan melalui belanja/ bantuan sosial Departemen Pendidikan dan Departemen Agama. Pemberian BOS sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Berdasarkan pada kedua hal tersebut, maka Pemerintah melalui program ini memberikan dana BOS bagi SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB negeri/swasta dan Pesantren Salafiyah serta sekolah keagamaan non Islam yang sederajat agar penyelenggaraan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dapat terlakasana dengan baik. Sebagai gambaran, di bawah ini adalah grafik tentang alokasi dana Bansos dan BOS di Depdiknas dan Depag.

Grafik 1

3

Sumber: PK-APBN

4.      Pembahasan /Analisis

4.1    Penentuan Indikator/Variable Yang Menjadi Acuan Penilaian Efektitifitas Program BOS

Merujuk pada bab sebelumnya bahwa pungukuran efektifitas suatu program/kegiatan haruslah melihat pada indikator/vaiabel yang terdapat pada outcome dari program/kegiatan tersebut.

Menurut Buku Petunjuk Teknis Monitoring dan Evaluasi BOS (Dalam Rangka Wajib Belajar 9 Tahun) yang diterbitkan Depdiknas dan Depag maka terdapat 9 indikator kinerja outcome. Setelah itu, dibuat klasifikasi indikator yang akhirnya terpilih menjadi indikator outcome yang akan terpilih dalam pengukuran efektif tidaknya program BOS, seperti tergambar dalam tabel … di   bawah ini:[13]

 

 

 

Gambar 2 Memilih Indikator Kinerja Outcome BOS

Aspek Indikator Kinerja Kalasifikasi Indikator Skor Total Terpilih
A B C D E
Outcome     APK (Angka Partisipasi Kasar) 1 1 1 1 1 5 Ya
    APM (Angka Partisipasi Murni) 1 1 1 1 1 5 Ya
    Angka Melanjutkan 1 1 1 1 1 5 Ya
    Jumlah Sisiwa Yang Mendaftar 1 1 1 1 1 5 Ya
    Jumlah Siswa Putus Sekolah 1 1 1 1 1 5 Ya
    UN/Jumlah Siswa Yang Lulus 1 1 1 1 1 5 Ya
    Partisipasi Masyarakat 1 0 0 1 0 2 Tidak
    Iklim Belajar Siswa 0 0 0 1 0 1 Tidak
    Kinerja Guru/Pegawai 1 0 0 1 0 2 Tidak
                 
Keterangan:                
A = kejelasan arti (1: jelas;  0: tidak jelas)              
B = kemudahan memperoleh data (1: mudah; 0: sulit)              
C = kemudahan dalam mengolah data (1: mudah; 0: sulit)            
D = indikator representatif/sesuai untuk mengukur ketercapaian target (1: ya; 0: tidak)  
E = kemudahan dalam pengamatan (1: mudah; 0: sulit)              

Berdasarkan tabel pemilihan indicator outcome BOS di atas maka terpilih 6 indikator yang akan dijadikan sebagai variabel dalam menguji efektifitas program BOS dengan membandingkan pelaksanaan 6 variabel tersebut sebelum dan setelah BOS dilakanakan pemerintah.

Untuk memudahkan dalam memahami 6 variabel di atas, di bawah ini definisi/batasan yang disimpulkan dari buku petunjuk teknis monev BOS  dan informasi yang didapatkan dari Departeman Pendidikan Nasional.

1. APK (Angka Partisipasi Kasar) SD adalah rasio jumlah seluruh anak yang bersekolah pada tingkat pendidikan SD atau sederajat pada tahun ajaran  dan wilayah tertentu dibanding dengan jumlah penduduk usia 6 sd. 12 tahun pada tahun ajaran dan wilayah yang sama.

2. APK (Angka Partisipasi Kasar) SMP adalah rasio jumlah seluruh anak yang bersekolah pada tingkat pendidikan SMP atau sederajat pada tahun ajaran dan wilayah tertentu dibanding dengan jumlah penduduk usia 13 sd.15 tahun pada tahun ajaran dan wilayah yang sama.

3.   APM (Angka Partisipasi Murni) SD adalah rasio jumlah seluruh anak yang berumur 6 sd. 12 tahun dan bersekolah pada tingkat pendidikan SD atau sederajat pada tahun ajaran dan wilayah tertentu dibanding dengan jumlah penduduk usia 6 sd. 12 tahun pada tahun ajaran dan wilayah yang sama.

4. APM (Angka Partisipasi Murni) SMP adalah rasio jumlah seluruh anak yang berumur 13 sd. 15 tahun dan bersekolah pada tingkat pendidikan SMP atau sederajat pada tahun ajaran dan wilayah tertentu dibanding dengan jumlah penduduk usia 13 sd. 15 tahun pada tahun ajaran dan wilayah yang sama.

5.   Angka Melanjutkan Siswa SD: Jumlah Siswa SD yang lulus pada tahun ajaran tertentu yang melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi  (SMP) dibanding seluruh jumlah siswa SD yang lulus pada tahun ajaran yang sama pada wilayah tertentu;

6.   Angka Melanjutkan Siswa SMP: Jumlah Siswa SMP yang lulus pada tahun ajaran tertentu yang melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi  (SMA) dibanding seluruh jumlah siswa SMP yang lulus pada tahun ajaran yang sama pada wilayah tertentu;

7.   Jumlah Siswa Yang Mendaftar: Jumlah siswa yang mendaftar ke SD atau ke SMP pada tahun ajaran dan wilayah tertentu;

8.   Jumlah Siswa Yang Putus SD dan SMP: Jumlah siswa yang keluar/putus/drop out  dibanding seluruh jumlah siswa pada jenjang pendidikannya masing-masing pada tahun ajaran dan wilayah tertentu;

9.   Jumlah Siswa Yang Lulus SD dan Lulus SMP: Jumlah siswa tingkat akhir yang berhasil lulus dari jenjang pendidikannnya masing-masing pada tahun ajaran tertentu dibanding dengan seluruh jumlah siswa tingkat akhir pada tahun ajaran yang sama pada  wilayah tertentu.[14]

4.2    Pengujian dan Analisis Efektifitas BOS Dengan Paried Sample T test

Paired sample t test adalah analisis statistik komparatif untuk dua sample bebas (independen)yang berpasangan atau suatu  metode statistik untuk menguji satu atau beberapa sampel yang sama tetapi mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda.[15]  Pada analisis efektifitas program BOS maka seperti yang disebutkan di atas (sub bab 4.1), ada 6 indikator outcome (yaitu APK, APM, jumlah siswa mendaftar, jumlah siswa putus sekolah, jumlah siswa lulus sekolah (UN) dan jumlah siswa yang melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya)  yang menurut pembahasan di atas  bisa dijadikan variabel dalam menguji efektif tidaknya program BOS yaitu dengan membandingkan data sampel indikator tersebut sebelum pelaksanaan program BOS dan setelah pelaksanaan BOS (seperti terlihat pada halaman lampiran 1 s.d 4). Adapun hasil sampel t berpasangan sebagai berikut:

4.2.1        Pengujian Variabel APK SD dan SMP

Seluruh Uji t sampel berpasangan (paired samle t test) di bawahini mempunyai nilai absolut t tabel = 2,045 angka ini berada pada tingkat signifikansi (α) sebesar 5% (tingkat kepercayaan 95%) dan derajat kebebasan (degree of freedom / df) = n-1 = 30 – 1 = 29.  Ini artinya, jika hasil output uji t sampel pada suatu variabel/indikator outcome di bawah ini mempunyai nilai absolute di bawah  2,045 (terletak di antara -2,045 sd. 2,045) atau nilai signifikansi pada output/probabilitas > dari α ( 5% atau 0,05) maka terima H0  atau dianggap kedua rata-rata sampel/populasi adalah identik/tidak berbeda/sama sehingga program BOS dianggap tidak/belum efektif  memperbaiki variabel/indikator outcome tersebut. Namun sebaliknya, jika hasil output uji t sampel pada suatu variabel/indikator outcome di bawah ini mempunyai nilai absolute di atas 2,045 (tidak terletak di antara -2,045 sd. 2,045) atau nilai signifikansi pada output/probabilitas < dari α ( 5% atau 0,05) maka kesimpulannya adalah tolak H0  atau dianggap kedua rata-rata sampel/populasi adalah tidak identik/berbeda/tidak sama sehingga program BOS dianggap talah efektif  memperbaiki variabel/indikator outcome tersebut.

 

 

Tabel 2: Paired Sample APK SD

  Paired  Differences t df Sig. (2 tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair  APK SD SBLM — 1.22571

(112.8512-114.0769)

4.77851 .87243 3.01003 .55862 1.405 29 .171
1      APK SD STLH

Berdasarkan output dari uji sample t berpasangan (paired sample t test) di atas dengan menghasilkan nilai t output/hitung sebesar absolut 1.405 (terletak di antara -2,045  sd. 2,045) dan nilai probabilits 0,171 ( > dari 0,05) maka hal ini dapat disimpulkan bahwa secara umum program BOS dianggap belum efektif memperbaiki  kondisi Angka Partisipasi Kasar di tingkat SD secara nasional, ini artinya terselenggaranya program BOS rata-rata belum dapat menaikkan jumlah partisipasi jumlah anak  yang sekolah (tanpa melihat umur) di SD di seluruh propinsi di Indonesia. Rata-rata kenaikan rasio APK sebesar 1,225  (selisih mean APK STLH – APK SBLM: 114,0769 – 112,8512) di atas belum dianggap  efektif, mengingat program BOS telah berjalan selama 3 tahun ajaran seharusnya dapat mendongkrak APK lebih tinggi lagi atau mempunyai selisih yang lebih tinggi lagi.

Tabel 3: Paired Sample APK SMP

  Paired  Differences T df Sig. (2 tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair  APK SMP SBLM — 10.1586

(80.4165-90.5751)

2.75514 .50302 11.1874 9.1298 20.195 29 .000
1      APK SMP STLH

Sebaliknya, untuk uji t sample berpasangan pada variabel/indicator outcome APK SMP  di atas ini menghasilkan nilai t output/hitung sebesar absolut -20.195 (terletak di luar angka  -2,045  sd. 2,045) dan nilai probabilits 0,000 ( < dari 0,05) maka hal ini dapat disimpulkan bahwa secara umum program BOS dianggap telah efektif memperbaiki  kondisi Angka Partisipasi Kasar di tingkat SMP secara nasional, ini artinya terselenggaranya program BOS rata-rata sudah dapat menaikkan partisipsi jumlah anak  yang sekolah (tanpa melihat umur) di SMP di seluruh propinsi di Indonesia. Rata-rata kenaikan rasio APK sebesar 10,15862  (selisih mean APK STLH – APK SBLM: 90,5751 – 80,4165) di atas dianggap  sudah efektif.

4.2.2        Pengujian Variabel APM SD dan SMP

Kesimpulan dari uji t sampel untuk variabel APK juga sama dengan yang ditemukan pada variabel APM untuk SD dan SMP. Penjelsannya adalah sebagai beikut:

Berdasarkan output dari uji sample t berpasangan di bawah dengan menghasilkan nilai t output/hitung sebesar absolut -2.014 (terletak di antara -2,045  sd. 2,045) dan nilai probabilits 0,053 ( > dari 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa secara umum program BOS dianggap belum efektif memperbaiki  kondisi Angka Partisipasi Murni  di tingkat SD secara nasional, ini artinya terselenggaranya program BOS selama 3 tahun ini rata-rata belum dapat menaikkan secara signifikan angka partisipasi jumlah anak  yang sekolah (dengan melihat kategori umur) di SD di seluruh propinsi di Indonesia. Rata-rata kenaikan rasio APK sebesar 0,75694  (selisih mean APM STLH – APM SBLM: 94,3064 – 93,5494) tersebut belum dianggap  efektif, mengingat program BOS telah berjalan selama 3 tahun ajaran seharusnya dapat mendongkrak lebih banyak lagi anak yang berumur 6 – 12 tahun untk bersekolah.

Tabel 4: Paired Sample APM SD

  Paired  Differences t df Sig. (2 tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair  APM SD SBLM — -.75694 (93.5494-94.3064) 2.05906 .37593 1.52581 .01192 2.014 29 .053
1      APM SD STLH

Kondisi sebaliknya juga terjadi pada variabel/indicator outcome APK SMP  di bawah ini yaitu dengan menghasilkan nilai t output/hitung sebesar absolut -14.073 (terletak di luar angka  -2,045  sd. 2,045) dan nilai probabilits 0,000 ( < dari 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa secara umum program BOS dianggap telah efektif memperbaiki  kondisi Angka Partisipasi Murni di tingkat SMP secara nasional, dengan kesimpulan lain bahwa terselenggaranya program BOS rata-rata sudah dapat menaikkan partisipsi jumlah anak  umur 13 sd. 15 tahun untuk bersekolah di jenjang pendidikannya (SMP) di seluruh propinsi di Indonesia. Rata-rata kenaikan APM sebesar 11,59379  (selisih mean APM STLH – APM SBLM: 68,8876 – 80,4165) di bawah dianggap  sudah efektif.

Tabel 5: Paired Sample APK SMP

  Paired  Differences t df Sig. (2 tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair  APM SMP SBLM — 11.5937 (57.2938-68.8876) 4.51221 .82381 13.2786 9.9089 14.073 29 .000
1      APM SMP STLH

4.2.3        Pengujian Variabel Siswa Mendaftar SD dan SMP

Berdasarkan output dari uji sample t berpasangan di bawah untuk variabel Siswa Mendaftar SD di bawah ini, menghasilkan nilai t output/hitung sebesar absolut -.961 (terletak di antara -2,045  sd. 2,045) dan nilai probabilits 0,344 ( > dari 0,05) maka hal ini dapat disimpulkan bahwa secara umum program BOS dianggap tidak efektif mendongkrak jumlah anak untuk bersekolah atau jumlah orang tua untuk memasukkakn anaknya ke SD secara nasional, ini artinya terselenggaranya program BOS rata-rata sangat tidak efektif pad variabel outcome ini.. Rata-rata kenaikan jumlah anak pada setiap propinsi sampel sebesar ­+ 1532 anak  (selisih mean Siswa Mendaftar STLH – siswa Mendaftar SBLM: 150.840 anak – 149.308 anak) di bawah dianggap belum  efektif, jadi dengan sosialisasi yang sangat gencar bahwa sekolah gratis belum cukup berhasil ’menggoda’ orang tua miskin untuk mendaftarkan anak-anaknya ke SD.

Tabel 6: Paired Sample  Daftar  SD

  Paired  Differences t df Sig. (2 tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair  DAFT SD SBLM — 1531.759 (149308.32-150840.08) 8725.878 1593.120 4790.055 1726.538 -.961 29 .344
1      DAFT SD  STLH

Namun sebaliknya untuk mendaftar ke jenjang pendidikan tingkat SMP, program ini dianggap telah efektif  karena telah berhasil menambah jumlah anak yang mendaftar secara rata-rata di tiap propinsi pada 3 tahun pemngamatan sebesar 14.702 anak. Hal ini dibuktikan secara statistic bahwa nilai nilai t output/hitung sebesar absolut -4.814 (terletak di luar angka  -2,045  sd. 2,045) dan nilai probabilits 0,000 ( < dari 0,05) masuk dalam kategori hipotesa tolak H0  artinya pelaksanaan program BOS membawa pengaruh terhadap meningkatnya jumlah pendaftar di tingkat SMP.

Tabel 7: Paired Sample  Daftar  SMP

  Paired  Differences t df Sig. (2 tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair  DAFT SMP SBLM — 14701.8 (95245.89-109947.64 16728.22 3054.141 20948.2 8455.37 4.814 29 .000
1      DAFT SMP STLH

4.2.4        Pengujian Variabel Siswa Putus Sekolah SD dan SMP

Perlakuan dalam interpretasi variabel jumlah Siswa Putus Sekolah adalah kontradiktif dengan 3 variabel sebelumnya (APK, APM dan Siswa Mendaftar) bahkan 2 variabel yang tersisa (Siswa Lulus dan  jumlah Siswa Melanjutkan)   karena jika pada 5 variabel lainnya hubungan program BOS dengan program-program tersebut mempunyai hubungan yang positif, artinya setelah dilaksanakan program BOS seharusnya 5 variabel tersebut meningkat angkanya maka pad avariabel putus sekolah ini, seharusnya semakin efektif program BOS angka  putus sekolah harus semakin kecil. Karena, sudah menjadi pengetahuan umum  bahwa anak-anak yang putus sekolah biasanya disebabkan karena masalah biaya sekolah yang tidak dibayarkan oleh orang tua secara rutin. Dengan adanya program BOS ini, diharapkan penyebab putus sekolah ini dapat diminimalisir bahkan dihilangkan karan program BOS merupakan program subsidi pemerintah di bidang pendidikan.

Tabel 8: Paired Sample  Putus  SD

  Paired  Differences t df Sig. (2 tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair  PUTUS SD SBLM — .49867 (3.4713-2.9727) 1.39257 .25425 -.2133 1.01866 1.961 29 .060
1      PUTUS SD STLH

 

Tabel 9: Paired Sample  Putus  SMP

  Paired  Differences t df Sig. (2 tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair PUTUS SMP SBLM – 0.41078 (4.2908-3.8800) 2.02192 0.36915 0.34422 1.16578 1.113 29 .275
1      PUTUS SMP STLH

Jika melihat 4 output SPSS  di atas, maka dapat disimpulkan  bahwa program BOS tidak efektif menurunkan angka siswa putus sekolah baik di jenjang SD maupun SMP. Secara stastistik variabel Putus Sekolah adalah menerima H0 karena  nilai t output baik di SD (1,961) maupun di tingkat SMP (1,113) berada di dalam interval t tabel (-2,045 sd. 2,045) dan nilai probabilitas keduanya lebih besar dari nilai α ( 5% atau 0,05).

Dari data statistik Depdiknas, angka putus sekolah secara rata-rata pada setiap propinsi untuk 3 tahun setelah program BOS diselenggarakan  untuk jenjang SD masih berkisar 20.920 anak (sebelum program BOS rata-rata 25.687 anak) tetapi untuk jenjang SMP justru mengalami kenaikan anak putus sekolah dari rata-rata 7346 anak (sebelum adanya BOS)menjadi rata-rata sebesar 7893 anak (setelah program BOS digulirkan), jadi ada kenaikan  sekitar 547 anak yang putus sekolah pada setiap tahunnya di masing-masing propinsi sampel.

4.2.5        Pengujian Variabel Siswa Lulus SD dan SMP

Adanya program BOS seharusnya bisa menaikkan angka Siswa Lulus dari jenjang pendidikannya masing-masing, logikanya adalah dengan adanya program BOS, beban mental orang tua dan siswa  dapat terkurangi (terutama dalam masalah biaya), anak didik (siswa) diharapkan dapat lebih tenang dalam belajar dan lebih berkonsentrasi menempuh pendidikan serta ujian akhir.

Dari pengamatan selama 3 tahun berturut-turut setelah pelaksanaan program BOS terhadap 30 provinsi yang dijadikan sampel  dan dari uji statistik pada penelitian ini maka terbukti bahwa program BOS dianggap efektif menaikkan jumlah siswa lulus baik di jenjang SD maupun SMP.

 

Tabel 10: Paired Sample  Lulus  SD

  Paired  Differences t df Sig. (2 tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair  LULUS SD SBLM — 2.17344 (94.0181-96.1916) 3.58120 .65383 -3.51069 .83620 3.324 29 .002
1      LULUS SD STLH

Tabel 11: Paired Sample  Lulus  SMP

  Paired  Differences t df Sig. (2 tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair LULUS SMP SBLM – 3.36111 (92.4219-95.7830) 3.17883 .58037 4.54811 2.17412 5.791 29 .000
1      LULUS SMP STLH

Dari 4 output SPSS  di atas maka secara stastistik variabel Lulus Sekolah adalah menolak  H0 karena  nilai t output baik di SD (-3,324) maupun di tingkat SMP (-5,791) berada di luar interval t tabel (-2,045 sd. 2,045) dan nilai probabilitas keduanya lebih kecil dari nilai α ( 5% atau 0,05), untuk sampel SD, probabilitasnya  = 0,002 dan sampel SMP, probabilitasnya  = 0,000.

Menurut data statistik dari Depdiknas, untuk angka siswa lulus SD rata-rata naik 2,17% dari 94,01% menjadi 96,19% atau secara nominal naik dari   76.616 siswa menjadi 79.251 siswa (rata-rata 3 tahun di propinsi sampel) sedangkan angka siswa lulus SMP rata-rata naik 3,36% dari 92,42% menjadi 95,78% atau secara nominal naik dari   119.343 siswa menjadi 122.668 siswa  (rata-rata 3 tahun di 30 propinsi sampel).

4.2.6        Pengujian Variabel Siswa Melanjutkan SD ke  SMP dan SMP ke SMA

Sama dengan variabel outcome sebelumnya, kecuali angka siswa putus sekolah maka program BOS diharapkan bisa menaikkan jumlah siswa yang melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan berikutnya. Jika alasan orang tua memasukkan anaknya yang lulus SD ke jenjang SMP dengan alasan biaya sekolah masih rendah/gratis (karena adanya program BOS) maka bagi orang tua yang mempunyai anak lulusan SMP dan ingin memasukkannya ke jenjang SMA harusnya mempunyai alasan yang hampir sama yaitu mereka (para orang tua) sudah mempunyai tabungan pendidikan yang cukup dari hasil penghematan biaya ketika di SMP sehingga kemampuan membayar uang pendaftaran atau untuk biaya pendidikan selama di SMA bisa ditingkatkan, kondisi inilah yang seharusnya meningkatkan juga rasio dan jumlah siswa yang melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.

Tabel 12: Paired Sample  Lanjut  SD

  Paired  Differences t df Sig. (2 tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair LANJUT SD SBLM – 12.02467 (72.8137-84.8420) 8.23045 1.50267 15.09797 8.95137 8.002 29 .000
1      LANJUT SD STLH

Tabel 13: Paired Sample  Lanjut  SMP

  Paired  Differences t df Sig. (2 tailed)
Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
PairLANJUT SMP SBLM- 8.49211 (86.3210-94.8131) 6.71740 1.22642 11.00043 5.98379 6.924 29 .000
1     LANJUT SMP STLH

Berdasarkan output dari uji sample t berpasangan (paired sample t test) di atas dengan menghasilkan nilai t output/hitung untuk variabel Melanjut Sekolah sebesar absolut -8.002 (terletak di luar interval  -2,045  sd. 2,045) dan nilai probabilits 0,000 ( < dari 0,05) maka hal ini dapat disimpulkan bahwa secara umum program BOS dianggap efektif memperbaiki  kondisi Angka Melanjutkan Sekolah di tingkat SD secara nasional, ini artinya terselenggaranya program BOS rata-rata dapat menaikkan jumlah angka transisi sekolah di tingkat SD – SMP di seluruh propinsi di Indonesia. Rata-rata kenaikan Angka Melanjutkan Sekolah sebesar 12,02%  (selisih mean Lanjut SD STLH – Lanjut SD SBLM: 84,84% – 72,82%) di atas sudah dianggap  efektif.

Begitu juga dengan angka Melanjutkan Sekolah dari SMP ke SMA, program BOS danggap telah efektif hal ini terbukti dari  output SPSS  di atas. Secara stastistik variabel Melanjutkan Sekolah adalah menolak  H0 karena  nilai t output varibel tersebut di tingkat SMP (-6,924) berada di luar interval t tabel (-2,045 sd. 2,045) dan nilai probabilitasnya (0,000)  lebih kecil dari nilai α ( 5% atau 0,05).

5. Simpulan dan Rekomendasi

5.1 Kesimpulan

Sistem penganggaran berbasis kinerja berorientasi pada sistem penganggarna yang menekankan hasil (output based) dari program pemerintah (dalam hal ini Kementerian/Lembaga Negara) dengan meningkatkan efsiensi sumber daya yang terbatas dan efektif dalam pencapaian output dan outcomenya.

Monitoring dan evaluasi dalam mencapai target tersebut (efisien dan efektif) perlu terus dilakukan   agar terjadi perbaikan kwalitas pelaksanaan program dan kegaitan di masa yang akan datang.

Artikel ini menawarkan satu metodologi penelitian untuk mengetahui tingkat efektifitas suatu program/kegiatan dengan cara melakukan uji sampel t berpasangan (paired sample t test) terhadap setiap outcome yang diharapkan dari program BOS ini.

Dari uji statistik dengan tools SPPS ini akan dihasilkan kesimpulan ilmiah setiap variabel outcomenya yaitu apakah dengan adanya program BOS variabel outcome yang diuji (yang terdiri dari varibel APK, APM, Siswa Mendaftar, Putus Sekolah, Lulus Sekolah dan Lanjut Sekolah di tingkat SD dan SMP) mengalami perbedaaan yang signifikan (terjadi perbaikan) dengan sebalum pelaksanaan BOS? Atau dengankata lain, apakah BOS efektif memperbaiki variabel-variabel outcome tersebut?

Ada beberapa variabel  yang terbukti mengalami perubahan (baca: perbaikan) adalah variabel  Lulus Sekolah dan Lanjut Sekolah di tingkat SD dan SMP serta variabel APK, APM, Siswa Mendaftar, Lulus Sekolah dan Lanjut Sekolah di tingkat SMP. Untuk variabel lain  yaitu: APK, APM, Siswa Mendaftar, Putus Sekolah di tingkat SD serta variabel Putus Sekolah di tingkat SMP belum berubah secara signifikan (program BOS belum dianggap efektif memperbaiki variabel-variabel outcom tersebut).

Di samping uji t secar berpasangan, artikel ini juga menguji sampel satu per satu 5 pulau/kepulauan di Indonesia untuk semua variabel outcome di tingkat SD dan SMP (semua ada 60 uji sampel secar individual). Uji ini untuk mengetahui atau mendeteksi pulau/kepulauan mana yang telah mendapatkan dampak langsung (dampak yang baik) dari adanya porgram BOS atau dengan kata lain, apakah program BOS ini efektif memperbaiki variabel outcome pada jenjang SD dan SMP serta pada setiap pulau/kepulauan?

Harapan penulis adalah mudah-mudahan penelitian di artikel ini bisa dijadikan salah satu bahan masukan dalam meniali dan menguji efektifitas program/kegiatan lainnya di pemerintah.

5.2  Rekomandasi

Setelah melakukan penelitian tentang analisis efektifitas program BOS di depdiknas ini, maka ada beberapa saran dan masukan yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan dalam kegiatan perencanaan, monitoring dan evaluasi program/kegiatan di  pemerintahan (utamanya di kemeterian / lembaga negara). Saran atau masukan itu adalah sebagai berikut:

1)         Agar setiap program dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah (K/L) direncanakan dengan sungguh dan berdasarkan output based  sehingga dampak dari kegiatan tersebut dapat dirasakan oleh pihak lain (baca: rakyat Indonesia);

2)         Perlunya melakukan monitoring dan evaluasi yang berkala terehadap pelaksanaan program/kegiatan tersebut sehingga penyimpangan dari target awal yaitu efktif dan efisien dalam pelaksanaan dan hasil bisa diketahui lebih dini;

3)         Setiap satuan  kerja hendaknya melakukan kajian-kajian ilmiah untuk  menemukan metode yang tepat dalam melakukan monitoring dan evaluasi tersebut;

4)         Khusus berkaitan dengan program BOS, maka pemerintah (dalam hal ini Depdiknas dan Depag)  benar-benar menjaga target wajib belajar 9 tahun untuk seluruh masyarakat Indonesia sehingga kualitas sumber daya Indonesia serta harkat dan martabat bangsa ini bisa disejajarkan dengan bangsa-bangsa maju;

5)         Untuk merealisasikan target Wajar 9 tahun tersebut hendaknya pemerintah mengoptimalkan pembiayaan pendidikan, dengan cara misalnya, menambah unit cost BOS sehingga sekolah-sekolah bisa menutupi kebutuhannaya terutama sekolah-sekolah miskin;

6)         Perlu adanya kerjasama dengan berbagai pihak, seperti swasta, pemda dan lain-lain dalam koordinasi dan berbagi tanggungjawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa;

Daftar Referensi

Abdul Aziz, Analsis Formulasi Peran Bulog Dalam Rangka Kebijakn Perberasan Nasional, JKM Volume 10 Nomor 3, Jakarta: Desember 2007;

Ali Idris Soentoro, IR, SE, ME, Cara Mudah Belajar Metodologi Penelitian dengan Aplikasi Statistik, Pasca Sarjana Universitas Budi Luhur, Jakarta: 2005;

Asian Development Bank, Preparatory  Studies on National Social Security System in Indonesia,  ADB: 2007;

David Besanko and Ronald R. Braeutigam, Microeconomics, John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd, Northwestern University: 2006;

Departemen Keuangan, Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi,  Depkeu, Jakarta: Juli 2008;

Depdiknas dan Depag, Buku Petunjuk Teknis Monitoring dan Evaluasi BOS, Dalam Rangka  Wajar 9 Tahun, Depdiknas dan Depag, Jakarta: 2007;

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag, Laporan Akhir Program BOS, BOS Buku  BKM Tahun 2007, Depdiknas dan Depag, Jakarta: 2008;

PK-APBN BKF Depkeu, Laporan Kajian Efektifitas dan Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga Tahun 2008, PK-APBN BKF Depkeu, Jakarta: 2008;

M. Suparmoko, Phd, M.A., Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Penerbit ANDI, Yogyakarta: 2001;

Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2008;

Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2009;

Pindyck Robert S and Rubinfeld Daniel L, Mikro ekonomi Jilid 1 dan 2 (terjemahan), PT Indeks, Jakarta: 2005;

Prathama Rahardja dan Mandala Manurung, Teari Ekonomi Makro Suatu Pengantar (Edisi Ketiga), LPFE UI, Jakarta: 2005;

Sadono Sukirno, Mikro Ekonomi Teori Pengangantar, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta: 2005;

Singgih Santoso, Buku Latihan Statistik Parameterik,   Elek Media Komputindo, Jakarta: 2001;

Singgih Santoso, SPSS Versi 10: Mengolah Data Statistik Secara Profesional, Elek Media Komputindo, Jakarta: 2003;

Sugiarto, dkk, Ekonomi Mikro, Sebuah Kajian Komprehensif,  PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta :2005

Sukanto Reksohadiprodjo, Prof. Phd., Ekonomi Publik, BPFE Yogyakarta: 2001;

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, 2003;

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;

Wiilliam A. McEachern, Ekonomi Mikro (terjemahan), Penerbit Salemba Empat, Jakarta: 2001

World Bank, World Development Indicators 2004, World Bank,Washington DC: 2004;

 

[1]Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI, email: kingabaz@gmail.com.

 

[2]Laporan Kajian Efektifitas dan Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga Tahun 2008, PK-APBN BKF Depkeu, Jakarta: 2008

 

[3] ibid  hal 20, 23.

[4]Ibid, hal 27

[5] sumber :  Departemen Pendidikan Nasional 2008

[6] sumber :  Departemen Agama 2008

[7] Sukanto Reksohadiprodjo, Prof. Phd., Ekonomi Publik, BPFE Yogyakarta: 2001; hal 37 – 39.

 

[8]Laporan Kajian Efektifitas dan Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga Tahun 2008, PK-APBN BKF Depkeu, Jakarta: 2008

[9]Laporan Kajian Efektifitas dan Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga Tahun 2008, PK-APBN BKF Depkeu, Jakarta: 2008

 

[10] Bahan Presentasi Perhitungan Anggaran Pendidikan, Departemen Keuangan RI 21 Februari 2008

[11] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional

 

[12] Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2009

[13] Depdiknas dan Depag, Buku Petunjuk Teknis Monitoring dan Evaluasi BOS, Dalam Rangka  Wajar 9 Tahun, Depdiknas dan Depag, Jakarta: 2007; hal 15.

 

[14] Disarikan dari buku Buku Petunjuk Teknis Monitoring dan Evaluasi BOS, Dalam Rangka  Wajar 9 Tahun, Depdiknas dan Depag, Jakarta: 2007; hal 35.

[15]Singgih Santoso, SPSS Versi 10: Mengolah Data Statistik Secara Profesional, Elek Media  Komputindo, Jakarta:  2003, hal 223

 
 

Tinggalkan komentar